Home » Uncategorized @id » Press Release » Era Baru Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Era Baru Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Ilustrasi kenaikan PPN

Jakarta, 3 Januari 2025 – Pemerintah secara resmi memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% sejak 1 Januari 2025 untuk barang mewah. Usai menuai banyak polemik mengenai wacana pemberlakuanya, pemerintah memutuskan bahwa penerapan tarif PPN 12% hanya dikenakan pada barang mewah yang telah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 yang diundangkan pada 31 Desember 2024. Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah strategis pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus memastikan keadilan dalam sistem perpajakan di Indonesia.

Landasan Kebijakan PPN 12%

PMK 131/2024 tidak hanya mengatur tarif PPN, namun turut memperjelas dasar pengenaan pajak (DPP) atas berbagai jenis transaksi barang dan jasa. Rincian DPP yang diatur meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, serta nilai lain untuk transaksi tertentu. Aturan ini bertujuan memberikan panduan teknis yang lebih jelas bagi pelaku usaha dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

Direktur Eksekutif Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies mejelaskan tarif 12% ini tetap mengacu pada Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN yang telah direvisi melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7/2021. Menurutnya, meskipun tarifnya tunggal, skema penghitungan DPP dibuat lebih fleksibel sesuai dengan jenis transaksi, seperti harga jual untuk barang, penggantian untuk jasa, atau nilai impor untuk barang impor.

“Pokok pengaturan di PMK 131/2024 berkaitan dengan DPP, bukan tarif PPN-nya. Tarif PPN di PMK 131/2024 tetap mengacu pada tarif 12% sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN. Tarif 12% tersebut mengacu pada UU HPP (UU No. 7/2021), sedangkan perubahan terakhir dari UU PPN (UU No. 8/1983) adalah UU No. 6/2023.” jelasnya.

Skema Penghitungan dan Dasar Pengenaan Pajak

Dr. Prianto juga menjelaskan mengenai skema penghitungan PPN 12% yang baru. Ia membagi sistem pungutan PPN yang baru ke dalam dua skema, yaitu:

  1. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x nilai transaksi), rumus untuk PPN 12% atas barang mewah.
  2. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x nilai transaksi), rumus untuk PPN 11% atas barang umum (non-mewah)

Sesuai dengan dua skema di atas dan jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000, perhitungan PPN-nya menjadi sbb:

  1. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x Rp1.000.000) = Rp120.000 (setara dengan 12%); dan
  2. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x Rp1.000.000) = Rp110.000 (setara dengan 11%).

Berdasarkan skema penghitungan tersebut, Dr. Prianto menegaskan sistem pungutan PPN yang baru masih menggunakan skema single tariff dan bukan multitarif.

“Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN (hasil revisi UU HPP), tarif PPN menjadi 12% sejak 1 Januari 2025. UU PPN tetap menggunakan skema tarif tunggal, bukan multitarif. Akan tetapi, DPP-nya dibedakan menjadi dua jenis.” Tegas Dr. Prianto.

Selanjutnya, masih berdasarkan skema penghitungan di atas, Dr. Prianto menambahkan untuk penghitungan butir a pada contoh di atas, diatur di Pasal 2 PMK 131/2024 dan menggunakan istilah DPP harga jual atau nilai impor.

Dalam hal ini, objek PPN-nya hanya berupa barang yang ditransaksikan di dalam negeri dan impor. Sementara itu, perhitungan di butir b menggunakan istilah DPP Nilai Lainnya di Pasal 3 PMK 131/2024.

Pro dan Kontra Tarif PPN 12%

Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai sejak pembuka tahun 2025, tentunya telah memicu berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Ada beberapa kelompok yang mendukung kebijakan ini dan tak sedikit yang menentangnya.

Dr. Prianto menjelaskan bahwa polemik yang muncul tidak terlepas dari kenyataan bahwa kebijakan PPN 12% adalah hasil dari proses politik yang kompleks.

”Pengaturan di PMK 131/2024 tidak terlepas dari kondisi bahwa tidak ada kebijakan pajak yang paling baik (the best tax policy) di dalam praktik. Pasalnya, kebijakan pajak yang tertuang di dalam norma hukum merupakan hasil kompromi politik setelah proses formulasinya memunculkan pihak pro dan kontra.” Jelasnya.

Menurutnya, masing-masing pihak baik yang pro maupun yang kontra sama-sama memiliki dasar pemikiran masing-masing. Pihak yang kontra berpandangan bahwa situasi perekonomian yang tidak pasti telah memicu sikap kontra di kalangan masyarakat.

”Kondisi perekonomian masyarakat di akhir 2024 sedang tidak baik-baik saja. Kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak luas karena daya beli masyarakat akan turun signifikan.” Tegas Dr. Prianto.

Dr. Prianto juga menambahkan, pihak yang pro terhadap kenaikan PPN menggunakan alasan bahwa PPN 12% sudah dibahas dan disetujui oleh masyarakat melalui wakilnya di DPR. Pemerintah hanya melaksanakan kebijakan tersebut meskipun asumsi perumusan PPN 12% tersebut berbeda dari realitasnya.

”Selain itu, fakta menunjukkan bahwa kenaikan PPN dengan tarif 10% menjadi 11% di tahun 2022 tidak memunculkan gejolak di tengah masyarakat,” Pungkasnya.


Penyusun: Lambang Wiji Imantoro

Editor: Ismail Khozen

 Artikel Lainnya