Jakarta 4 Februari 2025 – Per 1 Januari 2025, Indonesia secara resmi menerapkan kebijakan Pajak Minimum Global atau Global Minimum Tax (GMT). Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional.
Direktur Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, Dr Prianto Budi Saptono menjelaskan, kebijakan GMT merupakan bagian dari upaya global untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang adil. Menurutnya, GMT dirancang untuk memastikan perusahaan multinasional (Grup PMN) membayar pajak secara proporsional di negara-negara tempat mereka menghasilkan pendapatan.
“Kebijakan GMT disusun berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi Grup PMN (Perusahaan Multinasional) tidak terbatas pada kehadiran fisik anggota Grup PMN,” jelas Dr. Prianto.
Langkah Strategis Menangkal BEPS
Menurut Dr. Prianto, GMT merupakan respons terhadap praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yaitu penggerusan basis pemajakan dan pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau bahkan nol (tax haven).
Ia menambahkan, dengan adanya kebijakan tersebut maka Grup PMN yang beroperasi di Indonesia wajib membayar pajak dengan tarif minimum global, meskipun tidak memiliki kehadiran fisik di negara tersebut.
“Praktik BEPS atau penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba tersebut berkaitan dengan pengalihan keuntungan ke anggota Grup PMN di negara surga pajak (tax haven countries). Seringkali, tax haven countries tersebut tidak mengenakan PPh atau tarifnya sangat rendah,” tegas Dr. Prianto.
Dr. Prianto juga menyebut bahwa kebijakan GMT merupakan terobosan dalam perpajakan internasional berbasis konsensus. Menurutnya, GMT tidak hanya menyesuaikan dengan perkembangan kebijakan global tetapi juga melindungi hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi Grup PMN.
“GMT menggunakan konsep baru mengenai alokasi hak pemajakan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebijakan perpajakan internasional yang berbasis konsensus (consensus-based international tax policies),” ujar Dr. Prianto.
Dampak terhadap Daya Saing Ekonomi Indonesia
Implementasi GMT diprediksi memengaruhi daya saing Indonesia, terutama terkait kebijakan insentif pajak seperti tax holiday. Saat ini, kebijakan tax holiday masih berlaku berdasarkan PMK 130/PMK.010/2020 yang telah direvisi melalui PMK 69/2024. Namun, fasilitas ini akan berakhir pada 31 Desember 2025, sekaligus menandai transisi menuju rezim perpajakan yang lebih terintegrasi dengan persyaratan GMT.
Menurut Dr. Prianto, Grup PMN yang sebelumnya menikmati tax holiday di Indonesia mungkin akan terdampak GMT sehingga perlu dilakukan penyesuaian strategi untuk tetap mempertahankan daya tarik investasi.
“Namun demikian, ada juga anggota Grup PMN yang memperoleh fasilitas pembebasn pajak dan terdampak GMT juga. Jadi, daya saing Indonesia berupa tax holiday akan terpengaruh jika Grup PMN di Indonesia yang sebelumnya menikmati tax holiday, tapi di 2025 ini terdampak GMT,” ungkap Dr. Prianto.
Untuk itu, Dr. Prianto menilai, implementasi GMT di Indonesia akan menemui sejumlah tantangan. Ia menekankan, salah satu tantangan utama adalah kemungkinan munculnya strategi perencanaan pajak agresif baru atau aggressive tax planning dari Grup PMN untuk menghindari dampak GMT.
”Tantangan yang dihadapi Indonesia ketika GMT diterapkan berkaitan dengan cara-cara baru bagi Grup PMN untuk menyiasati threshold dan persyaratan GMT di PMK 136/2024 tidak berlaku untuk Grup PMN tersebut. Jadi, tidak mustahil akan ada new aggressive tax planning atau perencanaan pajak agresif gaya baru setelah PMK 136/2024 diterapkan,” tegas Dr. Prianto.
Selain itu, menurutnya kompleksitas aturan PMK 136/2024 yang mencakup 74 pasal dan 134 lembar lampiran memerlukan sosialisasi yang intensif agar masyarakat, terutama pelaku usaha, dapat memahami aturan tersebut secara menyeluruh.
“Asas hukum fiksi yang diterapkan menganggap semua pihak tahu aturan sejak diberlakukan, tetapi kenyataannya belum tentu demikian,” ujar Dr. Prianto.
Imbas GMT pada Investasi dan Kebijakan Pajak Domestik
Meskipun tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan tidak berubah, pemberlakuan GMT dapat menambah beban pajak bagi Grup PMN yang beroperasi di Indonesia. Selain itu, insentif seperti tax holiday yang selama ini menjadi andalan untuk menarik investasi asing kemungkinan besar akan mengalami penyesuaian untuk menyesuaikan dengan persyaratan GMT.
”Insentif pajak berupa tax holiday akan terpengaruh oleh GMT. Karena itu, peraturan tentang tax holiday di 130/PMK.010/2020 telah direvisi oleh PMK 69/2024. Ketentuan baru tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa fasilitas tax holiday dapat terdampak oleh GMT,” ungkap Dr. Prianto.
Dr. Prianto menilai, GMT diperkirakan memiliki dampak beragam terhadap investasi asing di Indonesia. Grup PMN dengan peredaran bruto tahunan di atas EUR 750 juta yang tercakup dalam threshold GMT akan terdampak langsung, sementara perusahaan di luar threshold tersebut relatif tidak terpengaruh.
“GMT tidak akan berdampak pada investasi asing di Indonesia ketika threshold GMT di PMK 136/2024 tidak terlampaui. Threshold tersebut di antaranya berupa peredaran bruto tahunan Grup PMN paling sedikit EUR750.000.000,” pungkas Dr. Prianto.
Penyusun: Lambang Wiji Imantoro
Editor: Ismail Khozen