Ulasan Webinar ke-192

Home » Webinar » Webinar » Membedah Praktik Manajemen PPh Badan 2024 & 2025 (Jilid 3): Mengelola Transaksi Afiliasi

Membedah Praktik Manajemen PPh Badan 2024 & 2025 (Jilid 3): Mengelola Transaksi Afiliasi

Webinar 192

PT Pratama Indomitra Konsultan kembali menggelar Free Webinar ke-192 dengan topik “Membedah Praktik Manajemen PPh Badan 2024 & 2025 (Jilid 3): Mengelola Transaksi Afiliasi”. Webinar ini berlangsung pada Rabu, 30 April 2025, dengan narasumber utama Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., M.B.A., seorang praktisi pajak, akademisi, peneliti, sekaligus CEO PT Pratama Indomitra Konsultan. Webinar ini dipandu oleh Sdri. Riezka Yunita Handinie, S.I.A., staff pada Divisi Consulting di PT Pratama Indomitra Konsultan

Sesi webinar edisi ke-192 ini merupakan pembahasan lanjutan dari webinar sebelumnya yang membahas manajemen pelaporan SPT PPh Badan dengan fokus pada transaksi afiliasi perusahaan. Pada bagian pembuka, Dr. Prianto memaparkan transaksi afiliasi adalah setiap aktivitas atau transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan pihak terkait, atau afiliasinya. Ini mencakup transaksi antara perusahaan terbuka (public company) dengan afiliasinya, atau dengan afiliasi anggota direksi, dewan komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali perusahaan. Landasan hukum transaksi afiliasi diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 04 Tahun 2020 (POJK No. 4 Tahun 2020) tentang transaksi afiliasi dan transaksi benturan kepentingan.

Peraturan perpajakan juga mengatur transaksi afiliasi dengan sebutan “hubungan istimewa” yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh, serta Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 sebagai peraturan pelaksana. Dalam konteks perpajakan di Indonesia, hubungan istimewa merujuk pada situasi di mana terdapat ketergantungan atau keterikatan antara dua pihak, yang dapat memengaruhi transaksi di antara mereka.

Hubungan istimewa dianggap ada dalam beberapa kondisi tertentu. Pertama, hubungan istimewa dapat terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal. Jika seorang Wajib Pajak memiliki penyertaan modal, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebesar minimal 25% pada Wajib Pajak lain, maka hubungan istimewa dianggap ada. Demikian pula, jika terdapat hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan minimal 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir, maka kondisi ini juga memenuhi kriteria hubungan istimewa.

Kedua, hubungan istimewa dapat timbul karena penguasaan. Kondisi ini mencakup situasi di mana satu pihak menguasai pihak lain atau dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penguasaan ini dapat terjadi melalui manajemen, penggunaan teknologi, atau keterlibatan orang yang sama dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih. Selain itu, jika para pihak secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama, atau satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain, maka hubungan istimewa dianggap ada.

Ketiga, hubungan istimewa juga dapat terjadi karena adanya hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda (hubungan keluarga yang terjadi karena pernikahan). Hal ini mencakup hubungan dalam garis keturunan lurus satu derajat, seperti antara orang tua dan anak, serta hubungan ke samping satu derajat, seperti antara saudara kandung

Pengawasan Transaksi Afiliasi

Transaksi antara entitas afiliasi telah menjadi fokus utama otoritas perpajakan di banyak yurisdiksi, karena potensi dampaknya yang merugikan terhadap stabilitas penerimaan negara. Praktik semacam ini kerap dikategorikan sebagai salah satu dari tiga “harmful tax practices,” bersama dengan thin capitalization dan controlled foreign corporation (CFC). Istilah-istilah lain yang juga digunakan untuk merujuk pada praktik pajak yang membahayakan penerimaan negara tersebut meliputi tax avoidance, aggressive tax planning, dan tax shelter. Dari perspektif teori manajemen, setiap perusahaan, baik yang berskala multinasional maupun domestik akan selalu berupaya meminimalkan biaya operasionalnya, termasuk beban pajak. Oleh karena itu, implementasi strategi pengurangan beban pajak sering kali dianggap sebagai elemen lazim dalam upaya efisiensi biaya perusahaan.

Pada umumnya transaksi afiliasi kerap dikategorikan sebagai bagian dari praktik tax avoidance, undang-undang perpajakan menetapkan sejumlah kewenangan berupa aturan anti-penghindaran pajak. Secara konseptual, norma hukum pajak mengadopsi dua jenis anti-avoidance rules, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di samping. Salah satu contoh implementasinya terdapat dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 beserta amandemennya sebelum UU HPP), yang memuat Specific Anti-Avoidance Rules (SAAR) meliputi:

  1. ketentuan transfer pricing,
  2. aturan thin capitalization,
  3. Ketentuan controlled foreign corporation (CFC).

Dalam praktik thin capitalization, misalnya sebuah perusahaan induk di negara A meminjamkan dana kepada entitas afiliasinya di negara B dengan proporsi utang yang jauh lebih besar dibandingkan modal sendiri. Misalnya, PT ABC di Indonesia memperoleh pinjaman sebesar 90% dari total struktur permodalan, sementara hanya menyuntikkan 10% modal sendiri. Skema ini memungkinkan PT ABC untuk mengalihkan sebagian besar laba ke biaya bunga yang dibayarkan kepada perusahaan induk, sehingga beban pajaknya di Indonesia menjadi jauh lebih rendah daripada seharusnya. Akibatnya, pendapatan kena pajak di Indonesia menyusut, sementara otoritas pajak kehilangan potensi penerimaan yang signifikan.

Contoh lain terlihat pada grup multinasional yang mengatur struktur permodalan untuk memaksimalkan pengurangan pajak melalui bunga utang. Sebagai ilustrasi, sebuah anak perusahaan di negara berpendapatan tinggi (Negara X) mengajukan pinjaman besar dari perusahaan induk yang berlokasi di Kota Lukse dengan tarif pajak efektif rendah. dikarenakan bunga atas pinjaman tersebut dapat dikurangkan dari laba kena pajak, anak perusahaan di negara X dapat melaporkan pendapatan yang jauh lebih kecil, secara legal meminimalkan beban pajaknya. Praktik ini memicu kewaspadaan otoritas pajak di seluruh dunia, hingga mereka memperketat aturan deminimis debt-to-equity ratio untuk membatasi dampak thin capitalization.

Sementara itu, praktik CFC terjadi ketika perusahaan induk memindahkan sebagian laba ke anak usaha yang beroperasi di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau nol persen. Misalnya, sebuah perusahaan teknologi asal Negara FDE mendirikan anak perusahaan di tax haven country untuk menampung hak kekayaan intelektualnya. Royalti yang dihasilkan kemudian dicatat sebagai pendapatan anak usaha di tax haven country, bukan di kantor pusat Negara FDE, sehingga pajak atas royalti tersebut jauh lebih ringan. Akibat skema ini, akumulasi laba terjadi di negara rendah pajak, sementara negara asal kehilangan potensi pajak atas penghasilan tersebut.

Dalam kasus lain, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang ekstraktif, seperti minyak dan gas, dapat memanfaatkan peraturan CFC untuk menahan distribusi laba. Anak perusahaan di negara penghasil minyak membayar royalti dan biaya manajemen kepada perusahaan induk di yurisdiksi bebas pajak. Pendapatan bersih yang tersisa di tangan anak perusahaan lokal sangat terbatas, sehingga penerimaan pajak negara penghasil ikut tergerus. Kebijakan anti-CFC kemudian diberlakukan oleh banyak negara, menetapkan aturan imputed taxation yang mengenakan pajak pada pemegang saham atas laba yang ditahan di luar negeri, guna menutup celah penerimaan ini.

 Ulasan Webinar Lainnya