Gustofan Mahmudd
Analis Ekonomi Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies
Sejak pertama kali diperkenalkan di Prancis pada 1938, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah diakui sebagai salah satu instrumen penerimaan negara paling produktif di dunia. Ibarat ‘mesin pencetak uang,’ PPN membantu banyak negara meningkatkan penerimaan dibandingkan sebelum jenis pajak ini diterapkan (Oliver et al., 2022).
Indonesia juga merasakan manfaatnya. Sebelum PPN resmi diadopsi pada 1983, rata-rata penerimaan pajak tahunan selama satu dekade (1972–1982) hanya sekitar Rp5,76 triliun. Namun, dalam satu dekade setelah penerapannya (1985–1995), angka tersebut melonjak hingga enam kali lipat, mencapai sekitar Rp34,36 triliun.
Saat ini, peran PPN dalam sistem perpajakan nasional semakin krusial. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak mencapai sekitar 35,04%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan sumber penerimaan pajak lainnya, seperti pajak bumi dan bangunan (1,21%), pajak perdagangan internasional (3,44%), dan cukai (10,73%), meskipun masih di bawah pajak penghasilan (pribadi maupun badan) yang menyumbang sekitar 49,13% dari total penerimaan pajak.
Berkaca pada fakta tersebut, meningkatkan penerimaan negara melalui PPN menjadi langkah strategis yang patut dipertimbangkan. Namun, mengingat eksekusi kebijakan ini memerlukan alokasi sumber daya yang besar (Slemrod & Velayudhan, 2020), penting untuk memastikan bahwa penerapan PPN berjalan secara efisien. Dengan demikian, tujuan kebijakan publik lainnya tidak terabaikan hanya demi optimalisasi PPN.
Selain itu, studi empiris oleh Acosta-Ormaechea & Morozumi (2021) yang menganalisis data negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan PPN dapat mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, asalkan peningkatan tersebut berasal dari efisiensi penerapan, bukan sekadar kenaikan tarif. Temuan ini menegaskan bahwa efisiensi penerapan harus menjadi indikator utama dalam mengukur kinerja PPN sekaligus menjadi acuan dalam merancang reformasi kebijakan PPN.
Metode Pengukuran
Berkenaan dengan hal tersebut, ekonomi pajak, seperti Ebrill et al. (2001) dan Keen (2013), telah mengembangkan indikator untuk mengukur efisiensi penerapan PPN secara kuantitatif. Secara umum, indikator ini dihitung sebagai rasio antara penerimaan PPN aktual dan potensi penerimaan PPN , yang kemudian dibagi dengan tarif PPN standar. Secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
Rasio yang semakin tinggi menunjukkan penerapan PPN yang semakin efisien, dan berlaku sebaliknya.
Penggunaan tarif dalam perhitungan indikator tersebut sangat berguna untuk analisis komparatif, mengingat setiap negara menetapkan besaran tarif yang beragam. Sebagai contoh, negara A mungkin memiliki potensi penerimaan PPN yang sama persis dengan negara B. Namun, karena tarif PPN di negara A lebih rendah dibandingkan negara B, secara kuantitatif, penerapan PPN di negara A akan terlihat lebih kecil. Oleh karena itu, mengoreksi dampak dari perbedaan tarif ini sangat penting untuk memitigasi hasil perhitungan yang bias.
Mengacu pada model perhitungan tersebut, indikator efisiensi pemungutan PPN yang muncul dalam literatur perpajakan pun bervariasi, tergantung pada bagaimana potensi pengenaan PPN diasumsikan.
- VAT efficiency ratio
Salah satu indikator yang cukup populer adalah VAT efficiency ratio, yang mengasumsikan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai objek dari pengenaan PPN.
Meskipun beberapa kali digunakan dalam penelitian empiris, VAT efficiency ratio memiliki permasalahan fundamental, mengingat tidak semua komponen PDB dikenakan PPN. Selain itu, indikator ini tidak memeriksa tolok ukur yang tepat untuk mengevaluasi PPN. Menurut Ebrill et al. (2001), tolok ukur yang seharusnya digunakan adalah PPN tipe konsumsi, sementara penggunaan PDB dalam perhitungan menjadikan tolok ukur yang digunakan adalah PPN tipe produk.
- VAT C-efficiency ratio
Limitasi konseptual yang melekat pada VAT efficiency ratio tersebut telah diatasi oleh VAT Consumption-efficiency ratio atau biasa disingkat menjadi VAT C-efficiency ratio. Alih-alih seluruh PDB, indikator alternatif ini menggunakan total pengeluaran konsumsi (KON) akhir para pelaku ekonomi, seperti rumah tangga, pemerintah, dan organisasi nirlaba, sebagai komponen perhitungan.
Karena mempertimbangkan basis pajak yang lebih realistis, VAT C-efficiency ratio kini menjadi indikator yang paling banyak digunakan dalam literatur untuk mengukur efisiensi pemungutan PPN.
- VAT gross collection ratio
Selain VAT efficiency ratio dan VAT C-efficiency ratio, terdapat satu indikator lain, yakni VAT gross collection ratio, yang secara spesifik hanya menggunakan belanja konsumsi rumah tangga atau privat (PRIV) sebagai objek pajak dalam perhitungannya.
Meskipun ketiga indikator ini menghasilkan angka rasio yang berbeda, kesimpulan akhirnya tetap serupa. Dalam kondisi ideal—tanpa pembebasan pajak (exemptions), pengurangan tarif (reduced rates), serta dengan tingkat kepatuhan tinggi (full compliance)—efisiensi PPN bisa mencapai 100% (IMF, 2010).
Namun, dalam realitasnya, berbagai negara masih jauh dari angka tersebut. Penyebabnya? Dua hal utama:
- Kesenjangan kebijakan (policy gap) akibat exemptions dan reduced rates.
- Kesenjangan kepatuhan (compliance gap) akibat ketidakpatuhan wajib pajak atau lemahnya penegakan aturan.
Selain itu, dalam praktiknya, tidak ada satupun indikator di atas yang mencakup basis pajak aktual di mana PPN dibebankan. Namun, dapat dikatakan bahwa VAT gross collection ratio adalah yang paling paling realistis dan dapat diandalkan dibandingkan indikator lainnya (Martinez-Vazquez & Bird, 2011).
Hasil Perhitungan
Mengacu pada tiga indikator di atas, seberapa efisienkah penerapan PPN di Indonesia? Data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, total penerimaan PPN mencapai Rp742,6 triliun. Di sisi lain, PDB Indonesia tercatat sebesar Rp20.892,4 triliun, dengan konsumsi final dari berbagai pelaku ekonomi—rumah tangga, pemerintah, dan organisasi nirlaba—mencapai Rp12.925,5 triliun, serta konsumsi privat sebesar Rp11.109,6 triliun.
Dengan tarif PPN sebesar 11%, efisiensi pemungutan pajak ini diukur melalui tiga indikator utama adalah sebagai berikut: VAT efficiency ratio = 0,32, VAT C-efficiency ratio = 0,52, dan VAT gross collection ratio = 0,61. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu mengumpulkan sekitar 30–60 persen dari potensi penerimaan PPN yang seharusnya bisa diperoleh.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, efisiensi Indonesia masih tertinggal jauh. Thailand berhasil mengumpulkan antara 52–99 persen dari potensi penerimaan PPN, menunjukkan sistem pemungutan yang lebih optimal. Bahkan dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti Brasil, Indonesia masih sedikit tertinggal. Brasil mencatat VAT efficiency ratio sebesar 0,41, VAT C-efficiency ratio 0,51, dan VAT gross collection ratio 0,66.
Temuan ini menjadi alarm bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem pemungutan PPN. Masih ada celah besar yang perlu diperbaiki, baik dalam kebijakan perpajakan maupun kepatuhan wajib pajak. Jika tidak segera dibenahi, Indonesia berisiko kehilangan potensi penerimaan negara yang sangat besar.
Reformasi Kebijakan
Oleh karena itu, Indonesia perlu reformasi kebijakan PPN untuk meningkatkan efisiensi pemungutan dan menutup celah yang menggerus penerimaan negara. Salah satu tantangan utama adalah memajaki sektor sulit dipajaki (hard-to-tax sectors) seperti pertanian dan pertambangan. Kedua sektor ini sering mendapat pengecualian PPN, memperlebar policy gap dalam sistem perpajakan. Padahal, sektor ini memasok bahan baku utama dalam rantai produksi. Tanpa PPN, pajak masukan yang dibayar pelaku usaha lain tidak bisa dikreditkan, menimbulkan distorsi ekonomi. Solusinya? Tinjau ulang pengecualian dan terapkan insentif yang lebih efektif agar pajak tetap optimal tanpa membebani sektor strategis.
Deindustrialisasi yang cepat juga membuat sektor jasa, khususnya pendidikan, kesehatan, dan sosial, semakin dominan. Karakteristiknya berbeda dengan sektor komersial sehingga butuh perlakuan perpajakan lebih adil. Salah satu solusinya adalah PPN berbasis harga (premium pricing), di mana pajak dikenakan sesuai nilai layanan, bukan sekadar transaksi. Skema ini menjaga penerimaan negara tanpa membebani sektor krusial.
Tanpa reformasi, Indonesia terus kehilangan potensi penerimaan PPN. Saatnya menutup celah dan mengoptimalkan pajak demi pembangunan nasional!