Home » Uncategorized @id » Opini » Mengupayakan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Mengupayakan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Image by Freepik

Periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menyisakan permasalahan fundamental bagi pemerintahan baru. Meski ekonomi tumbuh rata-rata 5% per tahun, kesejahteraan masyarakat justru menunjukkan tren penurunan.

Degradasi tersebut terlihat dari banyaknya golongan kelas menengah yang bergeser menjadi menuju kelas menengah (aspiring middle class) dan rentan miskin. Secara spesifik, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam lima tahun terakhir (2019–2024), jumlah penduduk aspiring middle class dan rentan miskin meningkat 21,35 juta orang. Di saat yang sama, 9,48 juta orang keluar dari kategori kelas menengah, sehingga tersisa 47,85 juta orang atau 17,13% dari total populasi.

Kondisi tersebut tampak kontras dibandingkan dengan beberapa tahun sebelum Jokowi menjabat untuk kedua kalinya. Pada kurun 2002–2019, dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berkisar 5%–6% per tahun, jumlah kelas menengah bertambah 42 juta orang. Sementara, kelompok miskin dan rentan miskin berkurang 34 juta orang.

Fakta di atas mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di era Jokowi Jilid II cenderung bersifat non-inklusif, lantaran manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat. Nyatanya, kenaikan tahunan PDB sebesar 5% hanya dinikmati oleh segelintir golongan seperti elite ekonomi atau perusahaan besar.

Scarring Effect

Efek jangka panjang (scarring effect) pagebluk COVID-19 ditengarai menjadi biang keladi anjloknya kualitas pertumbuhan ekonomi tanah air. Pandemi telah melumpuhkan sejumlah sektor, terutama usaha akomodasi dan makan/minum, yang mengalami kemerosotan omset sebesar 92,4%. Jasa lainnya menjadi sektor yang mengalami penurunan penerimaan terbanyak kedua, yakni 90,9%. Kondisi ini memaksa banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Mengingat mayoritas (57%) kelas menengah bekerja di sektor jasa, PHK massal yang terjadi berdampak langsung pada pendapatan mereka. Meski di 2022 ekonomi sudah berbalik ke pertumbuhan positif 5%, hingga saat ini, kelas menengah yang di PHK belum sepenuhnya kembali terserap lapangan kerja. BPS melaporkan, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebelum pandemi (Februari 2019) mencapai 6,8 juta orang. Pada Februari 2024, jumlah pengangguran mencapai 7,2 juta orang. Artinya, ada sekitar 400 ribu orang yang masih menganggur.

Hilangnya sumber pendapatan di antara warga kelas menengah akibat PHK mengharuskan mereka bertahan hidup bermodalkan tabungan atau pinjaman. Akibatnya, pengeluaran per kapita perbulan, yang menjadi dasar pengelompokkan klaster sosial ekonomi ini, kian menyusut. Penyusutan ini terutama didorong oleh turunnya pengeluaran untuk makanan/minuman, kendaraan bermotor, dan perumahan.

Pengurangan pengeluaran tersebut telah memperkecil kontribusi masyarakat kelas menengah terhadap total konsumsi rumah tangga hingga 6,5 poin persentase (dari 43,3% di 2019 menjadi 36,8% di 2024). Walhasil, konsumsi rumah tangga nasional selama semester satu (Januari–Juni) 2024 tumbuh di bawah 5%, lebih rendah dari laju pertumbuhan PDB. Situasi ini merupakan anomali, mengingat tingkat konsumsi biasanya melonjak pada periode di mana terdapat Ramadhan, Idul Fitri, dan liburan sekolah.

Perlambatan pertumbuhan konsumsi domestik patut diwaspadai mengingat lebih dari separuh PDB Indonesia bersumber darinya. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan memiliki implikasi lanjutan yang tak sepele. Deflasi yang terjadi selama lima bulan beruntun di penghujung masa jabatan Jokowi seolah menjustifikasi kekhawatiran ini. Secara teoritis, deflasi berkepanjangan akibat penurunan konsumsi berpotensi memunculkan ‘deflasi ganas’ (malign deflation), yang memiliki kapabilitas untuk merobohkan perekonomian.

Marjinalisasi Kelas Menengah

Konfigurasi problematika di atas menggarisbawahi bahwa ketika para medioker menjadi kaum paling sengsara, ancaman resesi menanti di depan mata. Ironisnya, bauran kebijakan di periode kedua pemerintahan Jokowi justru terkesan memarjinalkan masyarakat kelas menengah. Dengan begitu, scarring effect pandemi bukan satu-satunya alasan mengapa penduduk kelas menengah turun kasta.

Contoh kebijakan yang dimaksud adalah pengalihan dana subsidi energi untuk memfasilitasi bantuan sosial bagi warga miskin dan rentan yang berlaku pada 2022 silam. Mereka yang miskin dan rentan mungkin relatif terproteksi daya belinya, namun yang di tengah menjadi tertekan.

Manfaat kebijakan yang dirasakan oleh kelas menengah pada saat itu agaknya bergantung pada efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dari kelas atas. Pasalnya, di 2022, banyak insentif yang diberikan untuk pengusaha kelas atas, seperti tax amnesty jilid II, yang diharapkan dapat menstimulasi aktivitas ekonomi mereka. Namun, dampak positif yang dihasilkan dari kebijakan tersebut tidak terlalu optimal.

Selain itu, kelas menengah juga harus menanggung kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% yang mulai efektif sejak April 2022. Kebijakan ini berkontribusi pada naiknya harga barang ritel, yang merupakan proporsi pengeluaran tertinggi (42%–64%) kebanyakan masyarakat. Akibatnya, daya beli sebagian besar kelas medioker semakin tergerus di tengah-tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Penguatan Daya Beli

Fenomena pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan (immiserizing growth) yang tersaji di periode kedua kepresidenan Jokowi memberi pelajaran berharga bagi pemerintahan baru. Kebijakan yang diambil seharusnya lebih berpihak ke masyarakat kelas menengah, terutama mereka yang menduduki persentil ke 40 hingga 80. Mengingat inti permasalahan saat ini ada di sisi permintaan, penguatan daya beli kelas menengah adalah kunci.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali wacana kebijakan yang berpotensi menghantam daya beli kelas menengah. Hal ini terutama berkenaan dengan kenaikan tarif PPN 12% di awal 2025, yang secara regresif menghadirkan beban ekonomi bagi masyarakat. Iuran jaminan kesehatan nasional juga bakal naik pada pertengahan 2025. Belum lagi, rencana pemerintah untuk mewajibkan iuran tabungan perumahan di 2027. Dua kebijakan terakhir ini akan memperkecil pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) para pekerja, khususnya kelas menengah.

Selain itu, peningkatan daya saing tenaga kerja perlu dilakukan dengan memperluas program pelatihan kerja berbasis keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, terutama bagi lulusan Sekolah Menengah Atas dan setara, yang saat ini menjadi kelompok paling sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini penting mengingat mayoritas kelas menengah (62,24%) berasal dari jenjang pendidikan tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang kontribusinya terhadap PDB kini di bawah 20%, mengindikasikan deindustrialisasi prematur. Dibandingkan sektor jasa, sektor manufaktur dinilai lebih mampu menciptakan lapangan kerja dengan upah layak bagi tenaga kerja tanpa keterampilan tinggi.

Banyaknya kelas menengah yang beralih ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga patut mendapat perhatian serius. Meski sering disebut sebagai bantalan ekonomi nasional, mayoritas UMKM masih bersifat informal, berproduktivitas rendah, dan rentan terhadap gejolak. Untuk mengatasinya, diperlukan peningkatan akses pembiayaan, adopsi teknologi, dan penguatan kemitraan dengan usaha besar agar UMKM dapat masuk ke rantai pasok perekonomian. Langkah ini juga akan mendorong formalitas UMKM, sehingga perlindungan pekerja melalui upah minimum dan jaminan kerja dapat diterapkan secara lebih efektif.

Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang inklusif terletak pada bagaimana negara dapat memastikan kesejahteraan yang merata di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya dominasi kelas menengah, layaknya di negara maju. Toh, pemerintah telah mematok target proporsi kelas menengah hingga 70% dari total populasi agar tidak harap-harap cemas dalam menyongsong Indonesia emas. Bukan begitu?


Penulis : Gustofan Mahmud – Economic Analyst at Pratama Instute for Fiscal and Governance Studies

 Artikel Lainnya